Arsip Blog

Selasa, 06 Mei 2008

POLA ASUH ORANGTUA

PERKEMBANGAN DAN AGRESIVITAS REMAJA
BERDASARKAN POLA ASUH ORANG TUA

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Menuntut ilmu dimulai sejak dalam buaian sampai liang kubur adalah kewajiban manusia sesuai dengan ajaran agama islam yang tersurat dalam hadist Nabi Muhammad SAW. “Utlubul ilmi minal mahdi ilal ahdi”. Karenanya orang tua mempunyai anak sudah selayaknya memberikan pendidikan yang sebaik-baiknya yang berguna didunia dan bermanfaat diakherat. Dengan harapan ilmunya tersebut menjadi modal dalam bekal persaingan dunia pekerjaan. Namun terkadang harapan tidak sesuai dengan kenyataan bahkan terkadang sebaliknya. Anak membuat orang tua tak berdaya karena perbuatan yang memalukan.
Berdasarkan teori perkembangan kognitif piaget dalam trianto (2007;15) mengemukakan bahwa setiap individu mulai dari bayi yang dilahirkan sampai dengan menginjak dewasa mengalami 4 (empat) tingkat perkembangan kognitif, yaitu sebagai berikut:
Tahap
Perkiraan Usia
Kemampuan-kemampuan Utama
Sensorimotor

Praoperasional

Operasi Kongkrit


Operasi Formal
Lahir sampai 2 thn

2 sampai 7 tahun

7 sampai 11 tahun


11 sampai dewasa
Terbentuknya konsep “kepermanenan obyek” dan kemajuan gradual dari prilaku refleksif ke prilaku yang mengarah kepada tujuan
Perkembangan kemampuan menggunakan symbol-simbol untuk menyatakan obyek-obyek dunia. Pemikiran masih egosentris dan sentrasi.
Perbaikan dalam kemampuan untuk berpikir secara logis kemampuan-kemampuan baru termasuk penggunaan operasi-operasi yang dapat balik. Pemikiran tidak lagi centrasi tetapi desentrasi, dan pemecahan masalah tidak dibatasi oleh keegosentrisan.
Pemikiran abstrak dan murni simbolis mungkin dilakukan. Masalah-masalah dapay dipecahkan melalui penggunaan exp system.
Salah satu fenomena yang ada akhir-akhir ini yang sangat memprihatinkan diungkapkan oleh Drs. Priyo Hartono, Kepala Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Olahraga, Departemen Pendidikan Nasional, mengenai mudahnya para pelajar berkelahi.
Perilaku agresif ini merupakan gejala yang ada dalam masyarakat. Keagresifan sebagai gejala sosial cenderung dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang diduga menjadi sebab timbulnya tingkah laku agresif adalah kecenderungan pola asuh tertentu dari orang tua (child rearing). Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara orang tua dengan anaknya selama mengadakan pengasuhan. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah praktik pengasuhan orang tua kepada anaknya. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Brown (1961: 76) yang mengatakan bahwa keluarga adalah lingkungan yang pertama kali menerima kehadiran anak.
Anak belajar bertingkah laku agresif melalui imitasi atau model terutama dari orang tuanya, guru dan anak-anak lainnya. Dalam masyarakat modern ada tiga sumber munculnya tingkah laku agresif. Pertama, pengaruh keluarga. Kedua, pengaruh subkultural. Dalam konteks pengaruh subkultural ini sumber agresi adalah komunikasi atau kontak langsung yang berulang kali terjadi antarsesama anggota masyarakat di lingkungan anak tinggal. Mengingat kondisi remaja, maka peer group berperan juga dalam mewarnai perilaku remaja yang bersangkutan. Ketiga, modelling (vicarious leaming), merupakan sumber tingkah laku agresi secara tidak langsung yang didapat melalui mass media, misalnya tv, majalah, koran, video atau bioskop.
Perilaku agresif dapat diperoleh atau dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan terdekat bagi remaja, sehingga keluarga juga merupakan sumber bagi timbulnya agresi. Di dalam keluarga, interaksi antara anak dengan keluarganya (orang tua) adalah sangat penting. Dengan kata lain, pola asuh orang tua akan mempengaruhi perilaku anaknya.

B. Permasalahan
Permasalahan yang muncul adalah apakah terdapat hubungan antara pola asuh orang tua terhadap munculnya perilaku agresif pada anak yang diasuhnya?

C. Tujuan Penulisan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: Pertama untuk mengetahui tipe pola asuh orang tua; Kedua untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan munculnya perilaku agresif pada anak yang diasuhnya.
2. Kajian Kepustakaan
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat berinteraksi. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan anak.
Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah praktik pengasuhan anak.
Orang tua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu di antaranya ialah mengasuh putra-putrinya. Dalam mengasuh anaknya orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Di samping itu, orang tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda, karena orang tua mempunyai pola pengasuhan tertentu. Pola asuhan itu menurut Stewart dan Koch (1983: 178) terdiri dari tiga kecenderungan pola asuh orang tua yaitu: (1) pola asuh otoriter, (2) pola asuh demokartis, dan (3) pola asuh permisif.
Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam meletakan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya. .
Faktor lingkungan sosial memiliki sumbangannya terhadap perkembangan tingkah laku individu (anak) ialah keluarga khususnya orang tua terutama pada masa awal (kanak-kanak) sampai masa remaja. Dalam mengasuh anaknya orang tua cenderung menggunakan pola asuh tertentu. Penggunaan pola asuh tertentu ini memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap bentuk-bentuk perilaku tertentu pada anaknya. Salah satu perilaku yang muncul dapat berupa perilaku agresif.
Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Kohn (dalam Taty Krisnawaty, 1986: 46) menyatakan bahwa pola asuhan merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya.
Dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, individu banyak dipengaruhi oleh peranan orang tua tersebut. Peranan orang tua itu memberikan lingkungan yang memungkinkan anak dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya.
Melly Budiman (1986: 6) mengatakan bahwa keluarga yang dilandasi kasih sayang sangat penting bagi anak supaya anak dapat mengembangkan tingkah laku sosial yang baik. Bila kasih sayang tersebut tidak ada, maka seringkali anak akan mengalami kesulitan dalam hubungan sosial, dan kesulitan ini akan mengakibatkan berbagai macam kelainan tingkah laku sebagai upaya kompensasi dari anak. Sebenarnya, setiap orang tua itu menyayangi anaknya, akan tetapi manifestasi dari rasa sayang itu berbeda-beda dalam penerapannya; perbedaan itu akan nampak dalam pola asuh yang diterapkan.
Menurut Stewart dan Koch (1983: 203), orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai berikut: kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta simpatik. Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak. Orang tua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian. Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa. Dalam penelitian Walters (dalam Lindgren 1976: 306).
Baumrind & Black (dalam Hanna Wijaya, 1986: 80) dari hasil penelitiannya menemukan bahwa teknik-teknik asuhan orang tua demokratis yang menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri maupun mendorong tindakan-tindakan mandiri membuat keputusan sendiri akan berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab. Stewart dan Koch (1983: 219) menyatakan bahwa orang tua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara orang tua dan anak. Secara bertahap orang tua memberikan tanggung jawab bagi anak-anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa. Mereka selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anak-anaknya. Dalam bertindak, mereka selalu memberikan alasannya kepada anak, mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas tetapi hangat dan penuh pengertian.
Stewart dan Koch (1983: 225) menyatakan bahwa orang tua yang mempunyai pola asuh permisif cenderung selalu memberikan kebebasan pada anak tanpa memberikan kontrol sama sekali. Anak dituntut atau sedikit sekali dituntut untuk suatu tangung jawab, tetapi mempunyai hak yang sama seperti orang dewasa. Anak diberi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak mengatur anaknya. Menurut Spock (1982: 37) orang tua permisif memberikan kepada anak untuk berbuat sekehendaknya dan lemah sekali dalam melaksanakan disiplin pada anak.
Sutari Imam Bamadib (1986: 42) menyatakan bahwa orang tua yang permisif, kurang tegas dalam menerapkan peraturan-peraturan yang ada, dan anak diberikan kesempatan sebebas-bebasnya untuk berbuat dan memenuhi keinginannya.
Anak-anak yang diasuh oleh orang tua yang otoriter banyak menunjukkan ciri-ciri adanya sikap menunggu dan menyerah segala-galanya pada pengasuhnya. Watson (1967: 109), menemukan bahwa di samping sikap menunggu itu terdapat juga ciri-ciri keagresifan, kecemasan dan mudah putus asa. Baldin (dalam Gerungan, 1987: 91) menemukan dalam penelitiannya dengan membandingkan keluarga yang berpola demokratis dengan yang otoriter dalam mengasuh anaknya, bahwa asuhan dari orang tua demokratis menimbulkan ciri-ciri berinisiatif, berani, lebih giat, dan lebih bertujuan. Sebaliknya, semakin otoriter orang tuanya makin berkurang ketidaktaatan anak, bersikap menunggu, tak dapat merencanakan sesuatu, daya tahan kurang, dan menunjukkan ciri-ciri takut. Jadi setiap pola asuh orang tua akan berpengaruh terhadap anak asuhannya dalam perilaku tertentu, misalnya terjadinya keagresifan pada anak.
Siswa-siswi SMU tergolong dalam masa remaja. Tentang masa remaja ini ada beberapa pandangan; salah satu di antaranya dikemukakan Fishbein (1978: 307) bahwa remaja itu ditandai dengan datangnya masa pubertas, dan bersamaan dengan itu terjadi pula pertumbuhan fisik, tetapi juga timbul gejolak-gejolak.
Timbulnya gejolak pada masa remaja ini karena remaja berada pada masa transisi. Suatu masa dimana periode anak-anak sudah terlewati dan di satu sisi ia belum diterima sebagai manusia dewasa. Pada masa-masa seperti ini remaja senang mencari nilai-nilai baru, sehingga ia mulai sering meninggalkan rumah untuk bergabung dengan teman-temannya (peer group). Dalam peer group anak-anak berasal dari berbagai lingkungan keluarga maka akan terjadi pula karakteristik psikologis maupun sosial. Oleh sebab itu, terjadi pula berbagai kegiatan. Salah satu pengaruh yang mungkin dapat muncul adalah terjadinya perilaku agresif.
Hal ini dapat terjadi karena remaja berada pada kondisi yang labil dan emosional. Di samping karena adanya solidaritas yang kuat di antara sesama teman disebabkan adanya in group feeling yang sangat kuat. Peer group terbentuk karena adanya kesesuaian aspek-aspek tertentu di antara anggota-anggotanya. Anggota peer group ini dapat terdiri dari laki-laki maupun perempuan.
Remaja hidup dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Masyarakat sebagai suatu lingkungan yang relatif besar diatur dalam suatu norma atau nilai; atau kata lain dibatasi oleh suatu budaya tertentu. Kebudayaan dalam suatu tatanan masyarakat mengatur perilaku orang untuk hidup bermasyarakat, termasuk remaja. Remaja yang berada pada kondisi ingin mencari nilai-nilai baru dalam groupnya kemungkinan pula bertolak belakang dengan norma-norma masyarakat yang sudah mapan. Benturan nilai ini dimungkinkan pula terjadinya tindak agresif.
Dalam kehidupan sehari-hari istilah agresif sering digunakan oleh masyarakat. Di dalam istilah yang digunakan tersebut kebanyakan di dalamnya mengandung akibat ataupun kerugian bagi orang lain maupun dirinya sendiri. Menurut Sears (dalam Stewart dan Koch, 1983: 342) dan juga Dittman dan Godrich (dalam Johnson dan Medinnus, 1974: 57) tingkah laku agresi ini pada dasarnya merupakan tingkah laku yang bermaksud untuk melukai, menyakiti atau merugikan orang lain. Herbert (1978: 124) berpandangan bahwa tingkah laku agresi merupakan suatu tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial, yang menyebabkan luka fisik, psiknis pada orang lain, atau yang bersifat merusak benda. Baron (1977: 231) mengatakan bahwa agresif itu merupakan tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain. Sementara itu, Moore Fine (dalam E Koeswara, 1988: 104) mengatakan agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun secara verbal terhadap individu lain atau terhadap obyek lain.
Agresif seperti telah diutarakan pada pendahuluan dapat terjadi pada setiap individu, termasuk juga remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Meskipun sampai saat ini belum ada kesepakatan daripada ahli tentang batasan remaja baik melalui usia dan kapan mulai serta berakhirnya, akan tetapi masa remaja ini ditandai dengan datangnya masa pubertas, adanya perkembangan fisik yang maksimal dan sudah mampu berproduksi. Bersamaan dengan pertumbuhan fisik tersebut berkembang pula aspek psikologis dan aspek sosialnya.
Remaja yang masih dalam proses perkembangan tersebut mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok terutama kebutuhan rasa aman, rasa sayang, dan kebutuhan rasa harga diri. Zakiah Daradjat (1989: 4) mengatakan bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang perlu dipenuhi, jika tidak dipenuhi akan terjadi goncangan. Pada prinsipnya manusia ingin memenuhi kebutuhan dengan cara yang ia pilih. Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka individu (remaja) akan mengalami suatu problema. Kemungkinan remaja akan mengalami frustasi atau perilaku yang dapat merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Selanjutnya, situasi frustasi akan membuat orang marah dan akan memperbesar kemungkinan mereka melakukan tindakan agresi.
Uraian-uraian dari kajian kepustakaan tersebut di atas dapat dituangkan dalam skema/gambar sebagai berikut:

Gambar 1. Pola Asuh Orang tua
4. Pembahasan Masalah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe pola asuh dapat berupa:
(1) pola asuh demokrasi,
(2) pola asuh terhadap agresifitas,
(3) pola asuh otoriter,
(4) pola asuh premisif, dan
(5) pola asuh gabungan.
Berdasarkan uji statistik Spearman Rank, dari data yang berhasil dikumpulkan diketahui bahwa hubungan korelasi (rho) antara pola asuh demokratis (PAD) dengan keagresifan menunjukkan arah negatif yang signifikan.
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa hubungan negatif itu terjadi karena dalam pola asuh demokratis hampir segala kebutuhan pokok anak dapat diakomodasikan dengan wajar. Kebutuhan pokok manusia yang terpenuhi akan menimbulkan suasana psikologis maupun sosial yang menggembirakan. Dalam PAD komunikasi dapat berjalan wajar dan lancar sehingga setiap persoalan yang dialami anak dalam keluarga dapat disalurkan dalam suasana dialogis. Dengan demikian, stres dan frustrasi yang merupakan prakondisi agresifitas tidak muncul.
Rho yang diperoleh tidak saja negatif rendah melainkan negatif tinggi, yakni mendekati bilangan satu. Hal ini dapat terjadi, menurut Barnadib (1986: 31-40), disebabkan karena dalam keluarga yang diasuh dengan PAD hubungan anak dengan orang tuanya harmonis, mempunyai sifat terbuka dan bersedia mendengarkan pendapat orang lain, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara baik dan emosinya stabil. Kestabilan ini penting peranannya agar anak selalu sadar akan tindakan yang akan dilakukannya. Dalam keluarga demokratis anak selalu merasakan hangatnya suasana dan tidak melihat kekejaman-kekejaman yang ada di rumah.
Anak dalam keluarga selalu melihat interaksi dan perlakuan orang tuanya. Pengaruh-pengaruh yang diterima oleh anak dalam suasana keluarga yang semacam ini tentu akan berpengaruh baik. Hal ini didukung oleh pendapat Stewart dan Koch (1983: 218 – 223) bahwa suasana yang berpola asuh demokratis ini paling baik, memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan anak.
Melihat perbedaan hubungan antara remaja laki-laki dan perempuan dari PAD korelasinya dengan keagresifan ada perbedaan akan tetapi perbedaan itu kurang mempunyai makna. Maksudnya adalah pembahasan perbedaan hubungan itu dalam aplikasinya mempunyai arti, sebab keduanya sama-sama menunjukkan tidak adanya hubungan baik laki-laki maupun perempuan antara keagresifan dengan PAD.
Adapun dalam pembinaan anak yang berada dalam suasana keluarga demokratis, permusuhan atau kebencian serta ketidaksenangan di antara anggota keluarga diungkap secara terbuka. Backman (1986: 302) mengemukakan bahwa semakin demokratis suatu keluarga akan semakin bebas setiap anggota keluarga untuk mengungkapkan hal-hal yang tidak disukainya maupun mengekspresikan hal-hal yang disukainya dalam interaksinya dengan masing-masing anggota keluarga. Di samping itu, remaja yang orang tuanya menggunakan pola asuh demokratis memiliki hubungan yang lebih harmonis antara anak dengan anak dan dengan orang tua. Hal ini tentu saja akan mempunyai pengaruh yang lebih baik dalam perkembangan jiwa anak. Dengan demikian, adalah logis bahwa pola asuh demokratis tidak mempunyai hubungan/tidak berpengaruh terhadap munculnya perilaku agresi remaja.
Hubungan korelasi pola asuh otoriter (PAO) dengan agresifitas dinyatakan positif namun dalam level rendah. Dengan kata lain, terdapat hubungan positif yang signifikan antara digunakannya PAO orang tua dengan munculnya perilaku agresif pada anaknya, meskipun hubungan tersebut rendah. Meskipun hubungan kedua variabel tersebut menunjukkan indikasi rendah, tetap memberikan informasi kepada kita bahwa pola asuh otoriter berpeluang untuk memunculkan perilaku agresi.
Berdasarkan teori yang disampaikan pada bagian depan, terlihat bahwa bahwa semakin dihadang kebutuhan seseorang untuk mencapai tujuan akan menjadikan prakondisi agresi semakin tertekan dan mengakumulasi sehingga muncul perilaku agresif. Kecilnya rho yang diperoleh membuka perhatian kita pada faktor-faktor lain yang dapat memberikan peluang tidak munculnya perilaku agresif, misalnya binaan sekolah, aparat penegak hukum, dan sebagainya. Namun demikian, hal itu tidak berarti memberikan informasi bagi kita bahwa pola asuh otoriter semakin layak digunakan dalam pengasuhan anak.
Adanya hubungan PAO dengan keagresifan remaja itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Baumrind (Stewart dan Koch, 1983: 203 – 209) bahwa keluarga yang suka melakukan hukuman terutama hukuman fisik menyebabkan anak mempunyai sifat pemarah dan pemarah untuk sementara ditekan karena norma sosial (barier). Namun, suatu saat akan meluapkan amarahnya sebagai perilaku yang agresif.
Hal itu dikuatkan oleh hasil penelitian Backer (Stewart dan Koch, 1983: 229) yang mengatakan bahwa dalam keluarga otoriter yang menerapkan disiplin terlampau ketat pada anak usia 3 tahun, mereka biasanya menjadi penurut, tergantung, mempunyai sifat bermusuhan, tetapi sifat itu cenderung dihambat. Sebaliknya apabila penanaman disiplin tersebut dilakukan pada umur lebih tua (remaja) maka biasanya mereka tidak akan menghambat dorongan bermusuhan dan akan mengekspresikannya dalam bentuk perilaku agresif.
Tentang adanya perbedaan hubungan PAO dengan agresifitas pada anak laki-laki dan perempuan, Jerome (Tilker, 1975: 435) mengatakan bahwa tingkah laku agresif pada anak laki-laki tetap stabil pada setiap masa perkembangannya, tetapi untuk anak perempuan tingkah laku agresif ini akan semakin berkurang. Berkurangnya perilaku agresif pada anak perempuan ini barangkali karena norma yang ada dalam masyarakat mencela perbuatan agresif bagi anak perempuan. Di samping norma seperti diutarakan di atas, dapat juga karena faktor budaya. Perempuan lebih sering menampilkan perilaku yang lembut, sehingga perilaku agresif nampaknya bukan milik perempuan. Laki-laki dianggap biasa untuk bertindak agresif dibandingkan anak perempuan. Anak perempuan secara psikologis lebih dapat menahan emosi; artinya semakin ditekan orang tua akan semakin menurut atau hanya menangis dan mengurung diri dalam kamar. Oleh sebab itu, dalam uji statistik pada gender perempuan diperoleh hubungan yang lebih kecil (yaitu 0,21169), jika dibandingkan dengan laki-laki (0,34521).
Pola asuh permisif (PAP) dengan keagresifitas menunjukkan hubungan. Pada anak laki-laki dan perempuan, disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara pola asuh permisif dengan agresifitas.
Secara teroritik hubungan pola asuh permisif dengan agresifitas mestinya lebih rendah dibandingkan dengan hubungan pola asuh otoriter dengan agresifitas. Namun, kenyataan di lapangan mengatakan lain, yakni pola permisif justru mempunyai hubungan yang lebih besar bagi munculnya agresifitas. Mengapa demikian? Beberapa kemungkinan dapat kita tampilkan; salah satu di antaranya adalah bahwa manusia semakin direndahkan martabatnya dengan tidak menggubris seluruh perbuatannya maka ia akan mencari perhatian dengan cara menampilkan perbuatan yang negatif yang langsung dapat mencemarkan nama baik keluarganya. Jika cara yang ditempuh individu itu mendapat reinforcement maka ia akan lebih sering melakukan tindakan yang negatif, dalam konteks ini adalah perilaku agresif.
Berkaitan dengan PAP ini, Barnadib (1986: 47) menyatakan bahwa tindakan negatif ini berupa anak tidak mengenal tata tertib, sulit dipimpin, tidak taat pada peraturan, dll. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Robinson (1958: 170) yang mengatakan bahwa PAP dapat menyebabkan perilaku agresif bagi anak asuhnya. Kelonggaran dan kurang pedulinya orang tua terhadap anaknya (PAP, rho = 0,44443) rupanya lebih mempunyai hubungan dengan keagresifan jika dibandingkan dengan PAO (rho = 0,29150).
Temuan penelitian ini, khususnya pada PAP korelasinya dengan agresifitas sungguh menarik. Sebab kondisi dalam PAO dapat memberi nuansa psikologis; artinya ke-otoritasan orang tua diberi muatan psikologis terhadap kekawatiran-kekawatiran yang akan terjadi pada anak remajanya, sehingga anak pada fase tertentu mampu dan mau menyadari perilaku otoriter orang tua terhadap jiwanya.
5. Simpulan dan saran
Berdasarkan analisis data dengan metode korelasi seperti disebutkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa setiap pola asuh memberi kontribusi terhadap perilaku agresif. Kontribusi yang diberikan dapat negatif maupun positif. Oleh karena itu, pada masing-masing tipe pola asuh terdapat sisi kelemahan dan sisi kekuatannya. Berkaitan dengan temuan ini maka orang tua harus semakin menyadari posisinya dan menerapkan pola asuh yang paling sedikit atau bahkan tidak merangsang potensi agresif pada anak-anak asuhannya.
Disadari bahwa hampir tidak ada orang tua yang mempraktikkan pola asuh secara murni pada salah satu tipe. Kecenderungan-kecenderungan pada tipe pola asuh tertentu nampaknya lebih banyak digunakan oleh orang tua. Atau bahkan orang tua mempraktikkan pola asuh secara eklektik, artinya melakukan pengasuhan kepada anaknya secara situasional. Namun, berdasarkan temuan penelitian ini penulis sarankan agar orang tua lebih dominan menggunakan pola asuh demokratis (PAD). PAD terbukti memberi kontribusi negatif bagi munculnya agresifitas. Di samping itu, penulis sarankan agar pada penelitian lain, responden dirubah ke pola asuh dari ibu kepada anak Dengan demikian, pola asuh orang tua yang menentukan anak, sehingga persepsi anak terhadap pola asuh orang tuanya lebih dominan.

MIND MAPPING

UPAYA PENINGKATKAN KETERAMPILAN MENULIS KARANGAN PROSA MELALUI METODE PEMBELAJARAN MIND MAP

penelitian tindakan kelas di sekolah dasar negeri kencana 3 kelas V
kec Tanah Sareal Kota Bogor

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Aspek penilain yang diambil oleh guru bahasa Indonesia kepada siswa mencakup empat ranah keterampilan yaitu: membaca, mendengarkan, menulis dan berbicara. Keterampilan tersebut sudah barang tentu harus dikuasai siswa yang diharapkan nantinya dapat diaplikasikan pada semua mata pelajaran dan kehidupannya kelak. Keterampilan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang sangat berperan dalam pengembangan budaya, hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Keterampilan menulis memegang peranan penting dalam pengembangan berbahasa anak. Karena ide/gagasan yang dipunyai anak bisa ditangkap dan dinilai serta dikritisi oleh pembaca melalui kegiatan menulis.
Menulis atau mengarang ialah kemampuan mengekspresikan pikiran, perasaan, pengalaman, dalam bentuk tulisan yang disusun secara sistematis dan logis, sehingga diharapkan tulisannya dapat dengan mudah dipahami dan dimengerti orang lain yang membacanya.
Meskipun telah disadari bahwa penguasaan bahasa tulis mutlak dalam pendidikan dan kehidupan, tetapi dalam kenyataannya pengajaran keterampilan menulis kurang mendapat perhatian. Hal ini juga dipengaruhi dari pola mengajar guru yang kurang memperhatikan kemampuan dan minat menulis yang ada pada siswanya, sehingga keterampilan dan kegiatan menulis berlangsung apa adanya tanpa ada pembinaan yang maksimal, sudah dapat dibayangkan hasil yang diperoleh dan keterampilan yang dimiliki oleh siswa juga tidak menonjol bahkan cenderung di bawah standar. terlihat dari peminat perlombaan karya tulis baik ilmiah maupun non ilmiah sedikit sekali peserta yang ikut berpartisipasi, lain dengan lomba sains dan matematika.
Anggapan yang keliru bahwasannya siswa dikatakan pandai/pintar jika bisa dan menguasai pelajaran eksakta. Sedangkan kegiatan menulis dipandang sebelah mata padahal semua pengetahuan, tanggapan dan pendapat dituangkan salah satunya dalam bentuk tulisan. Keterampilan menulis sudah harus diberikan dan dikembangkan di sekolah dasar. Oleh karenanya pembelajaran keterampilan menulis perlu dikelola dengan cara memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih menggunakan baik secara reseptif maupun produktif.
Pembelajaran yang baik harus ditunjang beberapa faktor yaitu materi, metode, media, sarana dan prasarana.
Penggunaan media pembelajaran merupakan faktor yang tidak kalah penting untuk meningkatkan motivasi belajar. Media pembelajaran merupakan alat yang digunakan oleh guru untuk mempermudah dan memperjelas keterangan guru yang diharapkan siswa dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan hasil yang baik, disamping itu juga untuk menghindari terjadinya verbalisme terhadap siswa, juga sebagai sarana bantu untuk mewujudkan situasi belajar yang efektif serta merupakan bagian yang integral dari keseluruhan proses pembelajaran. Pada umumnya hasil belajar siswa dengan menggunakan media pembelajaran akan tahan lama sehingga kualitas pembelajaran mempunyai nilai tinggi, karena media pembelajaran meletakkan dasar-dasar kongkrit untuk berfikir. Media gambar sebagaimana media lainnya mempunyai fungsi dan peranan dalam membantu mempertinggi proses pembelajaran, karena media gambar dapat membantu mendorong para siswa dalam membangkitkan minat pada pelajaran. Media gambar juga menuntun anak untuk berfikir sistematis sesuai dengan urutan pada gambar, sehingga ketika anak menulis/mengarang prosa dapat runtut.Paparan ide dituliskan dengan sistematis dan terkait antara gambar yang dijadikan bagian dalam paragraf.
Selain dari media sebagai alat bantu pembelajaran aspek lain yang membantu tercapainya keterampilan menulis karangan prosa adalah ketepatan penggunaan metode yang dipakai guru. Kurang tepatnya penggunakan metode pembelajaran akan mengakibatkan tujuan pembelajaran tidak tercapai dengan maksimal. keragaman metode yang ada dan terus diciptakan bertujuan agar siswa tidak cepat bosan dan jenuh dalam menerima pelajaran.
Metode pembelajaran mind map,adalah salah satu metode pembelajaran yang mulai digunakan unttuk menyampaikan materi/mata pelajaran yang akan disampaikan kepada siswa.
Mind map atau lebih dikenal dengan metode mapping dalam bahasa Indonesia berarti pikiran (otak) yang merencanakan langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan oleh siswa sebelum kegiatan tersebut dilaksanakan agar terarah dan tepat.
Mind map adalah cara mencatat yang kreatif, efektif, dan secara harfiah akan “memetakan” pikiran-pikiran kita. Mind Map juga merupakan peta rute yang hebat bagi ingatan,memungkinkan kita menyusun fakta dan pikiran sedemikian rupa sehingga cara kerja alami otak dilibatkan sejak awal. Denngan arti mengingat informasi akan lebih mudah dan lebih bisa diandalkan daripada menggunakan teknik pencatatan tradisional (Tony Buzon,2007:4-5).
Dengan penggunaan metode pembelajaran mind map ini diharapkan dapat membantu siswa dalam kegiatan menulis. Namun pada kenyataannya metode pembelajaran mind map ini belum sering digunakan baik oleh guru maupun siswa. selain belum familiar juga langkah-langkah mind map ini belum sepenuhnya dipahami.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, ada kecenderungan siswa-siswa kelas V sekolah dasar mengalami kesulitan ketika mereka mendapatkan pelajaran bahasa indonesia dalam keterampilan menulis. maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan yang terjadi di sekolah alasan anak mendapatkan kesulitan dalam keterampilan menulis karangan prosa.Hasil identifikasi masalah itu adalah:
1. Apakah media gambar dapat meningkatkan keterampilan menulis karangan prosa siswa kelas V SDN Kencana 3?
2. Apakah penggunaan metode Mind Map dapat meningkatkan keterampilan menulis? khususnya menulis karangan prosa.

C. Cara Pemecahan Masalah
Kesulitan yang menjadi momok dalam keterampilan menulis adalah buntu
ide dan penulisan redaksi/pilihan kata/diksi mengalami kesulitan juga ketidak teraturan alur yang dituangkan sehingga tulisan/karangan menjadi membosankan dan terkesan jalan di tempat.
Pemecahan masalah yang tepat diperlukan agar penelitian tindakan kelas ini mendapatkan hasil yang memuaskan. Pada metode pembelajaran mind map salah satu cara untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan prosa adalah dengan menggunakan media gambar karena dinilai cocok dan anak-anak lebih tertarik.

D. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian dan alasan yang dikemukakan di atas dapat ditarik sebuah hipotesis bahwa media gambar dan metode pembelajaran mind map dapat merangsang serta meningkatkan motivasi anak untuk menulis serta berlatih terus guna memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ditemukan yang pada akhirnya dapat menulis dengan baik.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan keterampilan menulis karangan prosa pada anak kelas V di SD Negeri Kencana 3 Kec. Tanah sareal Kota Bogor. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada berbagai pihak yaitu:
1. Bagi peneliti, hasil penelitian ini sebagai bahan masukan dalam hubungan dengan profesi pekerjaan sebagai guru
2. Bagi Guru Sekolah dasar, hasil penelitian diharapkan sebagai pendorong dan umpan balik dalam pengajaran bahasa indonesia berkenaan dengan keterampilan menulis.
3. Bagi Instansi terkait, dalam hal ini Dinas Pendidikan sebagai masukan dalam rangka pembina an untuk meningkatkan mutu pengajaran menulis khususnya dan pelajaran bahasa indonesia pada umumnya yang ada di tingkat sekolah dasar.
4. Bagi siswa, sebagai pendorong dan ajang latihan untuk lebih giat menulis dan menghasilkan karangan yang baik dengan menggunakan bahasa,ejaan,dan tanda baca yang benar.












BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Teori
1. Pengertian keterampilan menulis
Menulis merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai siswa sekolah dasar selain dari tiga keterampilan berbahasa lainnya.Menulis dipergunakan sebagai alat komunikasi tidak langsung dengan orang lain. Menulis ialah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang,sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambar grafik itu.(Tarigan, 1994:21).
Menulis adalah sebuah kerja alamiah yang menjadi satu kebutuhan mendasar. Ia adalah ukuran adab dan kebudayaan. Dan manusia terhisap di dalamnya. Manusia harus bisa menulis bahkan menjadi penulis. Cara paling efektif untuk meningkatkan kemampuan menulis adalah berlatih menulis secara berkala. Paling tidak, tiga kali seminggu. (Peter Elbow, 2007:3)
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan menulis adalah kemampuan seseorang dalam melukiskan lambang grafis yang dimengerti oleh penulis dan orang lain yang membacanya, menulis juga digunakan oleh orang terpelajar untuk mencatat, merekam, meyakinkan, melaporkan, dan mempengaruhi orang lain agar orang yang membacanya sependapat/setuju dengan maksud si penulis dengan syarat penulis harus menyusun pikiran dan mengutarakannya dengan jelas dengan menggunakan kata-kata dan struktur kalimat yang baik dan benar. Menulis juga sebagai salah satu keterampilan yang dapat menentukan kesuksesan dalam hidup.
Tulisan terbagi dua yaitu fiksi dan non fiksi. Prosa termasuk kedalam tulisan fiksi. Ragam karangan prosa ada lima macam, yaitu narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, dan persuasi.
Pertama karangan narasi : karangan narasi atau sering juga disebut naratif berasal dari bahasa inggris narration, menurut Suparno dan Yunus,M (2002:428). Karangan yang disebut narasi menyajikan serangkaian peristiwa. Karangan ini berusaha menyampaikan serangkain kejadian menurut urutan terjadinya (kronologis), dengan maksud memberi arti kepada.sebuah atau serentetan kejadian, sehingga pembaca dapat memetik hikmah dari cerita itu. Dengan kata lain, karangan semacam ini hendak memenuhi keingintahuan pembaca yang selalu bertanya, "Apa yang terjadi?"
Kedua karangan deskripsi : Kata deskripsi berasal dari bahasa latin describere yang berarti menggambarkan suatu hal. Deskripsi adalah suatu bentuk karangan yang melukiskan sesuatu sesuai dengan keadaan sebenarnya, sehingga pembaca dapat mencitrai (melihat, mendengar, mencium, dan merasakan) apa yang dilukiskan itu sesuai dengan citra penulisnya (Suparno dan Yunus, M 2002:4.5)
Ketiga karangan eksposisi atau paparan : berasal dari bahasa Inggris exposition yang berarti membuka atau memulai. "karangan eksposisi merupakan karangan yang bertujuan utama untuk memberitahu, mengupas, menguraikan, atau menerangkan sesuatu" (Suparno dan Yunus, 2002:5.4).
Keempat karangan argumentasi : karangan yang terdiri atas paparan, alasan dan penyintesisan pendapat untuk membangun suatu kesimpulan.Karangan argumentasi ditulis dengan maksud untuk memberikan alasan, untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan.
Kelima karangan persuasi : alihan bentuk kata persuasion (bahasa Inggris). Bentuk kata persuasion diturunkan dari kata to persuade yang artinya membujuk atau meyakinkan. Karangan yang berisi paparan berdaya bujuk, berdaya ajak, atau berdaya himbau yang dapat membangkitkan ketergiuran pembaca untuk meyakini dan menuruti himbauan implisit maupun ekspisit yang dilontarkan oleh penulis (Suparno dan Yunus, 2002:5.43).
Dari paparan di atas kiranya kita dapat membedakan jenis karangan prosa yang bisa digunakan sesuai dengan topik dan tujuannya. Jenis-jenis prosa tersebut kiranya dapat dikuasai oleh siswa untuk digunakan sesuai dengan kebutuhannya.

2. Tujuan pengajaran menulis karangan
Tujuan akhir kegiatan menulis/mengarang adalah kemampuan mengekspresikan pikiran dengan cara efektif dan bergaya, memakai kata-kata tertentu dalam bentuk karangan yang sesuai,selain harus menguasai topik dan permasalahan yang akan ditulis, penulis juga harus menguasai komponen a. grafologi, b. stuktur, c. kosakata, dan d. kelancaran (Tarigan, 1994:3-4).
Tujuan pengajaran menulis karangan haruslah diarahkan pada tiga hal yaitu:
1. Mendorong siswa menulis dengan jujur dan penuh tanggung jawab.
2. Merangsang imajinasi/daya pikir siswa
3. Menghasilkan karangan yang baik organisasinya dengan menggunakan bahasa
yang baik dan benar (Akhmadi, 1983:15).
Tujuan Pengajaran menulis yaitu agar siswa mendapat pengalaman menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, sedangkan teori menulis diperlukan sebagai penunjang bagi kemampuan menulis itu (Rusyana, 1988:1).
Sedangkan tujuan umum pengajaran menulis yang tercantum dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004) mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Dasar ialah "Siswa memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan". (Puskur Depdiknas, 2004:4).
Tujuan umum mata pelajaran Bahasa Indonesia pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2006) pada poin pertama adalah peserta didik memiliki kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efesien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis.
Dari semua paparan di atas menitikberatkan bahwasannya tulisan/karangan siswa akan berangsur baik dengan cara dilatih terus menerus dengan melibatkan semua indra tubuh dikombinasi dengan imajinasi dan kekayaan kosakata yang indah agar kalimat-kalimat yang disajikan tidak membosankan.

3. Landasan dan pengolahan bahan pengajaran menulis
Ketika guru mengajarkan keterampilan menulis haruslah menguasai landasan-landasan sebagai pijakan, antara lain yaitu:
a. Pengalaman Menulis
b. Pengetahuan Menulis
c. Ekspresi dan kreatifitas
"Bahan pengajaran mengarang secara keseluruhan hendaknya dipandang sebagai suatu susunan (struktur) yang berfungsi" (Rusyana, 1988:2). Penulis bisa katakan bahwasannya kegiatan mengarang tidak bisa terlepas dari pokok bahasan yang termuat pada pelajaran Bahasa Indonesia yang membentuk satu kesatuan. Begitu pula teori dan praktek menulis. Karena jika teori di perlakukan suatu yang lepas maka pengajaran berubah menjadi pengajaran teori menulis. Hal ini menyalahi tujuan pengajaran mengarang.
Kegiatan menulis/mengarang pada siswa dapat mempertinggi proses belajar siswa dalam pengajaran yang pada gilirannya diharapkan dapat mempertinggi hasil belajar yang dicapainya" (Sudjana dan Rivai, 1991:2). Model mengarang berdasarkan gambar mempunyai kadar kesulitan yang lebih mudah daripada mengarang dengan topik yang sudah ditentukan. di dalam topik melalui gambar siswa bebas berekspresi namun tetap berpedoman pada gambar yang telah disusun sebelumnya secara berurut sehingga menjadi wacana runtut.dengan kata lain guru memberikan kerangka karangan dibutuhkan kecerdikan guru memilih gambar yang dapat menarik perhatian siswa. Oleh karena itu "pemilihan gambar harus tepat,menarik dan merangsang siwa"(Tarigan, 1986:209).
Dari pendapat yang dikemukakan di atas kiranya sangat berpengaruh penggunaan media gambar dalam kegiatan menulis pada anak terutama dalam menulis karangan prosa sebagai tuntunan agar tulisannya tidak keluar dari topik utamanya.


4. Evaluasi menulis karangan
Kegiatan yang dilakukan guru untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kegagalan siswa menulis karangan dengan cara memberikan penilaian.
"Penilaian adalah suatu proses yang sistematis dalam memperoleh dan menggunakan informasi untuk membuat pertimbangan yang dipergunakan sebagai dasar pengambilan keputusan" (Prawirasumantri, 2003:115-116). selanjutnya Supriyadi, 1991:326 menyatakan bahwa
1. Bahan umpan balik kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar menulis.
2. Untuk menentukan angka kemajuan belajar masing-masing siswa dalam pengajaran menulis.
3. Untuk menempatkan siswa sesuai dengan kemampuan menyerap pengajaran menulis.
4. Mengenal latar belakang kesulitan belajar bagi siswa tertentu dalam mengikuti pengajaran menulis.
Dapat disimpulkan bahwa dalam rangka mendapatkan gambaran umum keberhasilan siswa menulis ialah dari hasil penilaian yang dilakukan kapada siswa.Penilaian yang baik berarti penilaian yang dapaat menghasilkan nilai yang dapat dpertanggung jawabkan.

5. Media Pengajaran
Dalam dunia pendidikan media dapat diartikan sebagai alat bantu yang dapat dijadikan penyalur pesan guru. Oleh karena itu media pengajaran lebih
dikenal dengan alat bantu pengajaran atau alat peraga.
Media adalah alat, metode dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antar guru dan siswa dalam proses pengajaran dan pendidikan di sekolah. (Hamalik, 1994:12).
Penggunaan media pengajaran merupakan hal yang penting dalam proses pembelajaran, karena media tersebut berguna agar bahan pelajaran yang akan disampaikan guru lebih mudah dipahami dan dicerna oleh siswa. Oleh karena itu media digunakan untuk membantu guru agar proses pembelajaran efektif dan efesien sehingga dapat membantu mempertinggi minat dan hasil belajar. Adapun Muchyidin dan Fathoni (2002:1) mengemukakan bahwa : untuk memelihara dan lebih jauh meningkatkan kualitas pembelajaran kehadiran dan penggunaan secara tepat media pembelajaran sangat perlu. Media pembelajaran bermanfaat untuk melengkapi,memelihara bahkan meningkatkan kualitas dan proses pembelajaran yang sedang berlangsung.
Ada beberapa jenis media pengajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran, menurut Sudjana dan Rivai adalah:
1. Media Grafis: Gambar, foto, grafik, bagan atau diagram, poster, kartun, komik, dll.
2. Media tiga dimensi : Yaitu dalam bentuk model seperti model padat(solid model), model penampang, model susun, model kerja, mock up, diorama dll.
3. Media Proyeksi : Slide, film strips, film, penggunaan OHP dll.
4. Penggunaan lingkungan sebagai media pengajaran.
Gambar sebagai media pengajaran menulis karangan harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak dan tujuan pembelajaran.
Mengarang menggunakan gambar adalah salah satu teknik pengajaran menulis yang sangat dianjurkan. Karena gambar yang kelihatan diam sebenarnya banyak berkata bagi mereka yang peka dan penuh imajinasi.
Dalam memahami suatu gambar memerlukan pikiran kritis. Inilah salah satu manfaat penggunaan gambar dalam proses pembelajaran menulis karangan yakni membangkitkan sikap kritis pada siswa. ”Mengarang dengan media gambar berarti melatih dam mempertajam daya imajinasi siswa” (Tarigan, 1996:210).
Ada beberapa kelebihan dari media gambar sebagaimana dikemukakan Sudirman (1990:29)
1. Bersifat Kongkret, gambar lebih realita jika dibandingkan dengan media verbal semata.
2. Gambar sering digunakan karena mudah dimengerti.
3. Murah harganya serta mudah mendapatkannya dan mudah menggunakannya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa media gambar merupakan salah satu media yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran, namun demekian penggunaan media ini harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.

6. Metode pembelajaran mind map
Mind map adalah alat pikir organisasional yang sangat hebat, karena dapat menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi ke luar dari otak. Mind map juga merupakan peta rute yang hebat bagi ingatan, memungkinkan kita menyusun fakta dan pikiran sedemikian rupa sehingga cara kerja alami otak dilibatkan sejak awal. ini berarti mengingat informasi akan lebih mudah dan lebih bisa diandalkan daripada menggunakan teknik pencatatan tradisional. Semua mind map mempunyai kesamaan yaitu dengan menggunakan warna, dan memiliki struktur alami yang memancar dari pusat, menggunakan garis lengkung, simbol, kata, dan gambar yang sesuai dengan satu rangkaian aturan yang sederhana, mendasar, alami, dan sesuai dengan cara kerja otak (Tony Buzan, 2007:4-5).
Masih menurut Tony Buzan ada tujuh langkah dalam membuat mind map yaitu:
1. Mulailah daru bagian tengah kertas kosong yang sisi panjangnya diletakan mendatar mengapa? Karena mulai dari tengah memberi kebebasan kepada otak untuk menyebar ke segala arah dan untuk mengungkapkan dirinya dengan lebih bebas dan alami.
2. Gunakan gambar ayau foto untuk ide sentral. Mengapa? Karena sebuah gambar bermakna seribu kata dan membantu kita menggunakan imajinasi. Sebuah gambar sentral akan lebih menarik, akan membuat kita tetap terfokus, membantu kita berkonsentrasi, dan mengaktifkan otak kita.
3. Gunakan warna mengapa? Karena bagi otak warna sama menariknya dengan gambar. Warna membuat mind map lebih hidup, menambah energi kepada pemikiran kreatif, dan menyenangkan.
4. Hubungkan cabang-cabang utama ke gambar pusat dan hubungkan cabang-cabang tingkat dua dan tiga ke tingkat satu dan dua, dan seterusnya, Mrngapa? Karena otak bekerja menurut asosiasi. Otak senang mengaitkan dua (atau tiga, atau empat) hal sekaligus. Bila kita menghubungkan cabang-cabang kita akan lebih mudah mengerti dan mengingat.
5. Buatlah garis hubung yang melengkung, bukan garis lurus. Mengapa? Karena garis lurus akan membosankan otak.
6. Gunakan satu kata kunci untuk setiap garis. Mengapa? Karena kata kunci tunggal memberi lebih banyak daya dan fleksibilitas kepada mind map.
7. Gunakan gambar. Mengapa? Karena seperti gambar sentral, setiap gambar bermakna seribu kata.
Menciptakan mind map pertama anda
tahap 1
Gagasan utama mind map












tahap 2
Sentral dengan cabang-cabang yang mewakili pikiran utama



















tahap 3
Penyelesaian mind map




















B. Model Tindakan
Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan yang lajim disebut dengan penelitian tindakan kelas (PTK) atau classroom action research,yaitu penelitian yang dilakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri, dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa menjadi meningkat
Prinsip dasar penelitian ini sesuai dengan langkah yang dikemukakan oleh Kemmis dan Mc Taggart (Hopkins, 1993:48) dengan prosedur :
1. Perencanaan (planning)
2. Pelaksanaan Tindakan ( action)
3. Observasi ( observation )
4. Refleksi ( reflection )










Spiral penelitian tindakan kelas


Refleksi
Perencanaan
Siklus 1
Observasi
Tindakan
Refleksi
Tindakan
Perencanaan
Refleksi
Siklus 2
Tindakan
Observasi
Perencanaan
Siklus 3
Observasi








Gambar Spiral pelaksanaan dalam PTK (Kasbolah, 1998;70)



BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Setting dan karakteristik Penelitian
Karakteristik penelitian tindakan kelas menurut GAK Wardani dkk (2001:1.4-1.5) sebagai berikut :
1. Adanya masalah dalam PTK dipicu oleh munculnya kesadaran pada diri guru bahwa praktek yang dilakukannya selama ini di kelas mempunyai masalah yang perlu diperbaiki.
2. Self reflective inquiry atau penelitian melalui refleksi diri, guru mencoba mengingat kembali apa yang dikerjakan di dalam kelas, apa dampak tindakan tersebut bagi siswa. kemudian guru mencoba mencari kelemahan dan kekuatan dari tindakannya itu, dan mencoba memperbaiki kelemahan dan mengulangi bahkan menyempurnakan tindakan yang sudah dianggap baik.
3. PTK dilakukan di dalam kelas, sehingga fokus penelitian ini adalah kegiatan pembelajaran berupa prilaku guru dan siswa dalam melakukan interaksi.
4. PTK berujuan untuk memperbaiki pembelajaran. Perbaikan dilakukan secara bertahap dan terus menerus, selama penelitian dilakukan.Oleh karena itu dalam PTK dikenal adanya siklus pelaksanaan berupa pola yaitu : perencanaan, pelaksanaan, observasi, refleksi dan revisi. Ciri ini yang membedakan dengan penelitian lain yaitu dengan adanya tindakan yang berulang-ulang sampai didapat hasil yang terbaik. PTK berbeda dengan Penelitian Kelas terlihat pada tabel sbb:
NO
ASPEK PENELITIAN
TINDAKKAN
KELAS
PENELITIAN KELAS NON PTK
1
2

3

4

5

6

7

8
Peneliti
Rencana penelitian

Munculnya masalah

Ciri utama

Peran guru

Tempat penelitian

Proses pengumpulan data
Hasil penelitian
Guru
Oleh guru (dibantu orang luar)
Dirasakanoleh guru (mungkin dengan dorongan orang luar)
Ada tindakan untuk perbaikan yang berulang
Sebagai guru dan peneliti

Kelas

Oleh guru sendiri atau bantuan orang lain
Langsung dimanfaatkan oleh guru dan dirasakan oleh kelas
Orang luar
Oleh peneliti

Dirasakan oleh orang luar
Belum tentu ada tindakan perbaikan
Sebagai guru (obyek peneliti)
Kelas

Oleh peneliti
Menjadi milik peneliti, belum tentu dimanfaatkan oleh guru

Perbedaan ini untuk menghilangkan salah satu perbedaan persepsi terutama berkisar pada peran peneliti luar terutama dari LPTK yang melakukan PTK tetapi tergelincir menjadi pembina guru, yang kemudian bermuara pada praktek yang meminta pada guru untuk menerapkan satu cara (metode) mengajar yang diamati oleh para LPTK.

B. Faktor Yang Diteliti
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri Kencana 3 Kota Bogor. Dengan fokus penelitian yaitu penulisan karangan pada anak menggunakan bantuan media gambar dan metode mind map.Sejauh mana metode mind map ini dapat membantu anak untuk mempermudah dalam menul;is karangan dibantu oleh media gambar yang disesuaikan dengan materi pelajaran yang ada pada pelajaran bahasa Indonesia.
Dengan melihat fenomena yang ada pada saat ini banyak guru merasa kesulitan untuk mengajarkan materi menulis pada anak. Meskipun demikian berbagai upaya dilakukan guru untuk mencoba mengtasi kesulitan dalam proses pembelajaran. Dalam kondidi seperti inilah permasalahan kembali pada guru itu sendiri untuk dapat memperbaiki dengan melakukan berbagai penelitian terhadap pelaksanaaan tugas mengajarnya sehari-hari baik secara individu maupun secara kolaborasi dengan guru lain atau dosen LPTK melalui proses penelitian tindakan kelas.

C. Rencana Tindakan
1. Tahap perencanaan tindakan
Penelitian Tindakan Kelas ini direncanakan untuk menyelesaikan satu topik pembelajaran yang akan dilaksanakan secara berkelanjutan dengan menggunakan sistem siklus. Setiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang ingin dicapai. Perubahan ini diharapkan dapat tergambar dari hasil karangan siswa. Untuk dapat melihat keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran menullis ini dilaksanakan observasi dan evaluasi awal. Dalam refleksii ditetapkan bahwa tindakan yang akan digunakan untuk meningkatkan keterampilan menulis pada siswa kelas V yaitu dengan menggunakan metode mind map. Dengan berpatokan pada refleksi awal tersebut maka dilaksanakan penelitian tindakan kelas.



2. Tahap pelaksanaan tindakan.
Tindakan bertujuan untuk memperbaiki proses dan hasil belajar siswa. Rencana tindakan tiap siklus disusun secara bertahap untuk memperoleh gambaran mengenai adanya peningkatan atau perubahan dalam upaya perbaikan dan pencapaian hasil yang optimal. Dengan rencana pembelajaran bertahap dimulai dari yang mudah hingga yang paling sukar, dengan harapan perkembangan siswapun meningkat secara bertahap seiring dengan penguasaan terhadap materi pembelajar

3. Tahap Observasi dan Evaluasi
Dalam penelitian ini, yang menjadi instrumen utama adalah guru kelas yang dibantu oleh peneliti sebagai observer dengn dilengkapi lembar observasi dengan tujuan untuk merekam segala peristiwa dan kegiatan yang terjadi selama tindakan pembelajaran berlangsung. Dengan teknik ini beberapa bagian dari objek penelitian dapat diteliti langsung dalam keadaan yang sebenarnya.
Adapun langkah-langkah penyusun pedoman observasi sbb:
Pedoman observasi dibuat secara merinci jenis masalah yang akan diteliti. Siapa yang akan diobservasi dan identitas sampel yang akan diobservasi dicantumkan.
Membuat pedoman pencatatan data dimaksudkan untuk mengefektifkan prosedur pengumpulan data. Alat pencatat data ini berbentuk kesatuan dan daftar cek.
Pengumpulan data. Dalam mencatat data faktor subjektivitas peneliti harus diperhatikan agar hasil observasi betul-betul mendekati kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Evaluasi adalah kegiatan pengukuran kemampuan hasil belajar siswa pada setiap tindakan dan pada akhir setiap siklus. Evaluasi dilaksanakan secara individu. Melalui evaluasi dapat diketahui tingkat keterampilan siswa dalam menulis karangan prosa.

4. Tahap analisa dan refleksi
Reflekksi dilakukan untuk menemukan, mengkaji, menganalisa dan meerenungkan kembali kegiatan informasi awal sehubungan dengan adanya loose set activities dari pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Dengan demikian, kegiatan refleksi adalah menelaah kegiatan guru, siswa dan lingkungan pemebelajaran. Tujuan dari reflaeksi adalah perbandingan-perbandingan awal tindakan. Refleksi kedua dilaksanakan setiap akhir tindakan mirip seperti yang telah dicatat selama observasi berlangsung. refleksi dilakukan secara kolaboratif anata peneliti dengan guru untuk merevisi pelaksanaan tindakan selanjutnya.

D. Data dan Cara pengumpulan data
Pada prinsipnya pengumpulan data dilakukan setiap aktivitas, situasi atau kejadian yang berkaitan dengan tindakan penelitian yang dilakukan. Pengumpulan data dilakukan pada saat : (1) Observasi dan Identifikasi awal untuk menentukan permasalahan yang akan diteliti. (2) Pada siklus kesatu, pelaksanaan, analisa, dan refleksi terhadap tindakan pada pengajaran menulis karangan. (3) Evaluasi hasil karangan siswa pada siklus kesatu, (4) pada siklus kedua, pelaksanaan, analisis, dan refleksi terhadap tindakan pada menulis karangan disesuaikan dengan topik (5) evaluasi hasil karangan siswa di siklus kedua (6) siklus ketiga pelaksanaan, analisis, dan refleksi tindakan pada pembelajaran menulis karangan sesuasi topik (7) pada siklus keempat, pelaksanaan, analisis, dan refleksi terhadap tindakan pembelajaran menulis karangan dengan topik tertentu (8) Evaluasi hasil karangan siswa (9) Wawancara dengan guru (10) Diskusi dengan guru (11) menganalisis perubahan konseptual siswa.

E. Kriteria Keberhasilan
Semua kriteria penilaian yang berhubungan dengan hasil karangan siswa menggunakan kelas interval sbb:
90 – 100 = sangat baik
70 – 89 = baik
50 – 69 = cukup
30 – 49 = Kurang
10 – 29 = kurang sekali (Sudjana, 1990:2)