Arsip Blog

Selasa, 06 Mei 2008

POLA ASUH ORANGTUA

PERKEMBANGAN DAN AGRESIVITAS REMAJA
BERDASARKAN POLA ASUH ORANG TUA

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Menuntut ilmu dimulai sejak dalam buaian sampai liang kubur adalah kewajiban manusia sesuai dengan ajaran agama islam yang tersurat dalam hadist Nabi Muhammad SAW. “Utlubul ilmi minal mahdi ilal ahdi”. Karenanya orang tua mempunyai anak sudah selayaknya memberikan pendidikan yang sebaik-baiknya yang berguna didunia dan bermanfaat diakherat. Dengan harapan ilmunya tersebut menjadi modal dalam bekal persaingan dunia pekerjaan. Namun terkadang harapan tidak sesuai dengan kenyataan bahkan terkadang sebaliknya. Anak membuat orang tua tak berdaya karena perbuatan yang memalukan.
Berdasarkan teori perkembangan kognitif piaget dalam trianto (2007;15) mengemukakan bahwa setiap individu mulai dari bayi yang dilahirkan sampai dengan menginjak dewasa mengalami 4 (empat) tingkat perkembangan kognitif, yaitu sebagai berikut:
Tahap
Perkiraan Usia
Kemampuan-kemampuan Utama
Sensorimotor

Praoperasional

Operasi Kongkrit


Operasi Formal
Lahir sampai 2 thn

2 sampai 7 tahun

7 sampai 11 tahun


11 sampai dewasa
Terbentuknya konsep “kepermanenan obyek” dan kemajuan gradual dari prilaku refleksif ke prilaku yang mengarah kepada tujuan
Perkembangan kemampuan menggunakan symbol-simbol untuk menyatakan obyek-obyek dunia. Pemikiran masih egosentris dan sentrasi.
Perbaikan dalam kemampuan untuk berpikir secara logis kemampuan-kemampuan baru termasuk penggunaan operasi-operasi yang dapat balik. Pemikiran tidak lagi centrasi tetapi desentrasi, dan pemecahan masalah tidak dibatasi oleh keegosentrisan.
Pemikiran abstrak dan murni simbolis mungkin dilakukan. Masalah-masalah dapay dipecahkan melalui penggunaan exp system.
Salah satu fenomena yang ada akhir-akhir ini yang sangat memprihatinkan diungkapkan oleh Drs. Priyo Hartono, Kepala Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Olahraga, Departemen Pendidikan Nasional, mengenai mudahnya para pelajar berkelahi.
Perilaku agresif ini merupakan gejala yang ada dalam masyarakat. Keagresifan sebagai gejala sosial cenderung dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang diduga menjadi sebab timbulnya tingkah laku agresif adalah kecenderungan pola asuh tertentu dari orang tua (child rearing). Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara orang tua dengan anaknya selama mengadakan pengasuhan. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah praktik pengasuhan orang tua kepada anaknya. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Brown (1961: 76) yang mengatakan bahwa keluarga adalah lingkungan yang pertama kali menerima kehadiran anak.
Anak belajar bertingkah laku agresif melalui imitasi atau model terutama dari orang tuanya, guru dan anak-anak lainnya. Dalam masyarakat modern ada tiga sumber munculnya tingkah laku agresif. Pertama, pengaruh keluarga. Kedua, pengaruh subkultural. Dalam konteks pengaruh subkultural ini sumber agresi adalah komunikasi atau kontak langsung yang berulang kali terjadi antarsesama anggota masyarakat di lingkungan anak tinggal. Mengingat kondisi remaja, maka peer group berperan juga dalam mewarnai perilaku remaja yang bersangkutan. Ketiga, modelling (vicarious leaming), merupakan sumber tingkah laku agresi secara tidak langsung yang didapat melalui mass media, misalnya tv, majalah, koran, video atau bioskop.
Perilaku agresif dapat diperoleh atau dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan terdekat bagi remaja, sehingga keluarga juga merupakan sumber bagi timbulnya agresi. Di dalam keluarga, interaksi antara anak dengan keluarganya (orang tua) adalah sangat penting. Dengan kata lain, pola asuh orang tua akan mempengaruhi perilaku anaknya.

B. Permasalahan
Permasalahan yang muncul adalah apakah terdapat hubungan antara pola asuh orang tua terhadap munculnya perilaku agresif pada anak yang diasuhnya?

C. Tujuan Penulisan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: Pertama untuk mengetahui tipe pola asuh orang tua; Kedua untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan munculnya perilaku agresif pada anak yang diasuhnya.
2. Kajian Kepustakaan
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat berinteraksi. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan anak.
Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah praktik pengasuhan anak.
Orang tua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu di antaranya ialah mengasuh putra-putrinya. Dalam mengasuh anaknya orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Di samping itu, orang tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda, karena orang tua mempunyai pola pengasuhan tertentu. Pola asuhan itu menurut Stewart dan Koch (1983: 178) terdiri dari tiga kecenderungan pola asuh orang tua yaitu: (1) pola asuh otoriter, (2) pola asuh demokartis, dan (3) pola asuh permisif.
Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam meletakan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya. .
Faktor lingkungan sosial memiliki sumbangannya terhadap perkembangan tingkah laku individu (anak) ialah keluarga khususnya orang tua terutama pada masa awal (kanak-kanak) sampai masa remaja. Dalam mengasuh anaknya orang tua cenderung menggunakan pola asuh tertentu. Penggunaan pola asuh tertentu ini memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap bentuk-bentuk perilaku tertentu pada anaknya. Salah satu perilaku yang muncul dapat berupa perilaku agresif.
Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Kohn (dalam Taty Krisnawaty, 1986: 46) menyatakan bahwa pola asuhan merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya.
Dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, individu banyak dipengaruhi oleh peranan orang tua tersebut. Peranan orang tua itu memberikan lingkungan yang memungkinkan anak dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya.
Melly Budiman (1986: 6) mengatakan bahwa keluarga yang dilandasi kasih sayang sangat penting bagi anak supaya anak dapat mengembangkan tingkah laku sosial yang baik. Bila kasih sayang tersebut tidak ada, maka seringkali anak akan mengalami kesulitan dalam hubungan sosial, dan kesulitan ini akan mengakibatkan berbagai macam kelainan tingkah laku sebagai upaya kompensasi dari anak. Sebenarnya, setiap orang tua itu menyayangi anaknya, akan tetapi manifestasi dari rasa sayang itu berbeda-beda dalam penerapannya; perbedaan itu akan nampak dalam pola asuh yang diterapkan.
Menurut Stewart dan Koch (1983: 203), orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai berikut: kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta simpatik. Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak. Orang tua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian. Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa. Dalam penelitian Walters (dalam Lindgren 1976: 306).
Baumrind & Black (dalam Hanna Wijaya, 1986: 80) dari hasil penelitiannya menemukan bahwa teknik-teknik asuhan orang tua demokratis yang menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri maupun mendorong tindakan-tindakan mandiri membuat keputusan sendiri akan berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab. Stewart dan Koch (1983: 219) menyatakan bahwa orang tua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara orang tua dan anak. Secara bertahap orang tua memberikan tanggung jawab bagi anak-anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa. Mereka selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anak-anaknya. Dalam bertindak, mereka selalu memberikan alasannya kepada anak, mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas tetapi hangat dan penuh pengertian.
Stewart dan Koch (1983: 225) menyatakan bahwa orang tua yang mempunyai pola asuh permisif cenderung selalu memberikan kebebasan pada anak tanpa memberikan kontrol sama sekali. Anak dituntut atau sedikit sekali dituntut untuk suatu tangung jawab, tetapi mempunyai hak yang sama seperti orang dewasa. Anak diberi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak mengatur anaknya. Menurut Spock (1982: 37) orang tua permisif memberikan kepada anak untuk berbuat sekehendaknya dan lemah sekali dalam melaksanakan disiplin pada anak.
Sutari Imam Bamadib (1986: 42) menyatakan bahwa orang tua yang permisif, kurang tegas dalam menerapkan peraturan-peraturan yang ada, dan anak diberikan kesempatan sebebas-bebasnya untuk berbuat dan memenuhi keinginannya.
Anak-anak yang diasuh oleh orang tua yang otoriter banyak menunjukkan ciri-ciri adanya sikap menunggu dan menyerah segala-galanya pada pengasuhnya. Watson (1967: 109), menemukan bahwa di samping sikap menunggu itu terdapat juga ciri-ciri keagresifan, kecemasan dan mudah putus asa. Baldin (dalam Gerungan, 1987: 91) menemukan dalam penelitiannya dengan membandingkan keluarga yang berpola demokratis dengan yang otoriter dalam mengasuh anaknya, bahwa asuhan dari orang tua demokratis menimbulkan ciri-ciri berinisiatif, berani, lebih giat, dan lebih bertujuan. Sebaliknya, semakin otoriter orang tuanya makin berkurang ketidaktaatan anak, bersikap menunggu, tak dapat merencanakan sesuatu, daya tahan kurang, dan menunjukkan ciri-ciri takut. Jadi setiap pola asuh orang tua akan berpengaruh terhadap anak asuhannya dalam perilaku tertentu, misalnya terjadinya keagresifan pada anak.
Siswa-siswi SMU tergolong dalam masa remaja. Tentang masa remaja ini ada beberapa pandangan; salah satu di antaranya dikemukakan Fishbein (1978: 307) bahwa remaja itu ditandai dengan datangnya masa pubertas, dan bersamaan dengan itu terjadi pula pertumbuhan fisik, tetapi juga timbul gejolak-gejolak.
Timbulnya gejolak pada masa remaja ini karena remaja berada pada masa transisi. Suatu masa dimana periode anak-anak sudah terlewati dan di satu sisi ia belum diterima sebagai manusia dewasa. Pada masa-masa seperti ini remaja senang mencari nilai-nilai baru, sehingga ia mulai sering meninggalkan rumah untuk bergabung dengan teman-temannya (peer group). Dalam peer group anak-anak berasal dari berbagai lingkungan keluarga maka akan terjadi pula karakteristik psikologis maupun sosial. Oleh sebab itu, terjadi pula berbagai kegiatan. Salah satu pengaruh yang mungkin dapat muncul adalah terjadinya perilaku agresif.
Hal ini dapat terjadi karena remaja berada pada kondisi yang labil dan emosional. Di samping karena adanya solidaritas yang kuat di antara sesama teman disebabkan adanya in group feeling yang sangat kuat. Peer group terbentuk karena adanya kesesuaian aspek-aspek tertentu di antara anggota-anggotanya. Anggota peer group ini dapat terdiri dari laki-laki maupun perempuan.
Remaja hidup dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Masyarakat sebagai suatu lingkungan yang relatif besar diatur dalam suatu norma atau nilai; atau kata lain dibatasi oleh suatu budaya tertentu. Kebudayaan dalam suatu tatanan masyarakat mengatur perilaku orang untuk hidup bermasyarakat, termasuk remaja. Remaja yang berada pada kondisi ingin mencari nilai-nilai baru dalam groupnya kemungkinan pula bertolak belakang dengan norma-norma masyarakat yang sudah mapan. Benturan nilai ini dimungkinkan pula terjadinya tindak agresif.
Dalam kehidupan sehari-hari istilah agresif sering digunakan oleh masyarakat. Di dalam istilah yang digunakan tersebut kebanyakan di dalamnya mengandung akibat ataupun kerugian bagi orang lain maupun dirinya sendiri. Menurut Sears (dalam Stewart dan Koch, 1983: 342) dan juga Dittman dan Godrich (dalam Johnson dan Medinnus, 1974: 57) tingkah laku agresi ini pada dasarnya merupakan tingkah laku yang bermaksud untuk melukai, menyakiti atau merugikan orang lain. Herbert (1978: 124) berpandangan bahwa tingkah laku agresi merupakan suatu tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial, yang menyebabkan luka fisik, psiknis pada orang lain, atau yang bersifat merusak benda. Baron (1977: 231) mengatakan bahwa agresif itu merupakan tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain. Sementara itu, Moore Fine (dalam E Koeswara, 1988: 104) mengatakan agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun secara verbal terhadap individu lain atau terhadap obyek lain.
Agresif seperti telah diutarakan pada pendahuluan dapat terjadi pada setiap individu, termasuk juga remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Meskipun sampai saat ini belum ada kesepakatan daripada ahli tentang batasan remaja baik melalui usia dan kapan mulai serta berakhirnya, akan tetapi masa remaja ini ditandai dengan datangnya masa pubertas, adanya perkembangan fisik yang maksimal dan sudah mampu berproduksi. Bersamaan dengan pertumbuhan fisik tersebut berkembang pula aspek psikologis dan aspek sosialnya.
Remaja yang masih dalam proses perkembangan tersebut mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok terutama kebutuhan rasa aman, rasa sayang, dan kebutuhan rasa harga diri. Zakiah Daradjat (1989: 4) mengatakan bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang perlu dipenuhi, jika tidak dipenuhi akan terjadi goncangan. Pada prinsipnya manusia ingin memenuhi kebutuhan dengan cara yang ia pilih. Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka individu (remaja) akan mengalami suatu problema. Kemungkinan remaja akan mengalami frustasi atau perilaku yang dapat merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Selanjutnya, situasi frustasi akan membuat orang marah dan akan memperbesar kemungkinan mereka melakukan tindakan agresi.
Uraian-uraian dari kajian kepustakaan tersebut di atas dapat dituangkan dalam skema/gambar sebagai berikut:

Gambar 1. Pola Asuh Orang tua
4. Pembahasan Masalah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe pola asuh dapat berupa:
(1) pola asuh demokrasi,
(2) pola asuh terhadap agresifitas,
(3) pola asuh otoriter,
(4) pola asuh premisif, dan
(5) pola asuh gabungan.
Berdasarkan uji statistik Spearman Rank, dari data yang berhasil dikumpulkan diketahui bahwa hubungan korelasi (rho) antara pola asuh demokratis (PAD) dengan keagresifan menunjukkan arah negatif yang signifikan.
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa hubungan negatif itu terjadi karena dalam pola asuh demokratis hampir segala kebutuhan pokok anak dapat diakomodasikan dengan wajar. Kebutuhan pokok manusia yang terpenuhi akan menimbulkan suasana psikologis maupun sosial yang menggembirakan. Dalam PAD komunikasi dapat berjalan wajar dan lancar sehingga setiap persoalan yang dialami anak dalam keluarga dapat disalurkan dalam suasana dialogis. Dengan demikian, stres dan frustrasi yang merupakan prakondisi agresifitas tidak muncul.
Rho yang diperoleh tidak saja negatif rendah melainkan negatif tinggi, yakni mendekati bilangan satu. Hal ini dapat terjadi, menurut Barnadib (1986: 31-40), disebabkan karena dalam keluarga yang diasuh dengan PAD hubungan anak dengan orang tuanya harmonis, mempunyai sifat terbuka dan bersedia mendengarkan pendapat orang lain, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara baik dan emosinya stabil. Kestabilan ini penting peranannya agar anak selalu sadar akan tindakan yang akan dilakukannya. Dalam keluarga demokratis anak selalu merasakan hangatnya suasana dan tidak melihat kekejaman-kekejaman yang ada di rumah.
Anak dalam keluarga selalu melihat interaksi dan perlakuan orang tuanya. Pengaruh-pengaruh yang diterima oleh anak dalam suasana keluarga yang semacam ini tentu akan berpengaruh baik. Hal ini didukung oleh pendapat Stewart dan Koch (1983: 218 – 223) bahwa suasana yang berpola asuh demokratis ini paling baik, memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan anak.
Melihat perbedaan hubungan antara remaja laki-laki dan perempuan dari PAD korelasinya dengan keagresifan ada perbedaan akan tetapi perbedaan itu kurang mempunyai makna. Maksudnya adalah pembahasan perbedaan hubungan itu dalam aplikasinya mempunyai arti, sebab keduanya sama-sama menunjukkan tidak adanya hubungan baik laki-laki maupun perempuan antara keagresifan dengan PAD.
Adapun dalam pembinaan anak yang berada dalam suasana keluarga demokratis, permusuhan atau kebencian serta ketidaksenangan di antara anggota keluarga diungkap secara terbuka. Backman (1986: 302) mengemukakan bahwa semakin demokratis suatu keluarga akan semakin bebas setiap anggota keluarga untuk mengungkapkan hal-hal yang tidak disukainya maupun mengekspresikan hal-hal yang disukainya dalam interaksinya dengan masing-masing anggota keluarga. Di samping itu, remaja yang orang tuanya menggunakan pola asuh demokratis memiliki hubungan yang lebih harmonis antara anak dengan anak dan dengan orang tua. Hal ini tentu saja akan mempunyai pengaruh yang lebih baik dalam perkembangan jiwa anak. Dengan demikian, adalah logis bahwa pola asuh demokratis tidak mempunyai hubungan/tidak berpengaruh terhadap munculnya perilaku agresi remaja.
Hubungan korelasi pola asuh otoriter (PAO) dengan agresifitas dinyatakan positif namun dalam level rendah. Dengan kata lain, terdapat hubungan positif yang signifikan antara digunakannya PAO orang tua dengan munculnya perilaku agresif pada anaknya, meskipun hubungan tersebut rendah. Meskipun hubungan kedua variabel tersebut menunjukkan indikasi rendah, tetap memberikan informasi kepada kita bahwa pola asuh otoriter berpeluang untuk memunculkan perilaku agresi.
Berdasarkan teori yang disampaikan pada bagian depan, terlihat bahwa bahwa semakin dihadang kebutuhan seseorang untuk mencapai tujuan akan menjadikan prakondisi agresi semakin tertekan dan mengakumulasi sehingga muncul perilaku agresif. Kecilnya rho yang diperoleh membuka perhatian kita pada faktor-faktor lain yang dapat memberikan peluang tidak munculnya perilaku agresif, misalnya binaan sekolah, aparat penegak hukum, dan sebagainya. Namun demikian, hal itu tidak berarti memberikan informasi bagi kita bahwa pola asuh otoriter semakin layak digunakan dalam pengasuhan anak.
Adanya hubungan PAO dengan keagresifan remaja itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Baumrind (Stewart dan Koch, 1983: 203 – 209) bahwa keluarga yang suka melakukan hukuman terutama hukuman fisik menyebabkan anak mempunyai sifat pemarah dan pemarah untuk sementara ditekan karena norma sosial (barier). Namun, suatu saat akan meluapkan amarahnya sebagai perilaku yang agresif.
Hal itu dikuatkan oleh hasil penelitian Backer (Stewart dan Koch, 1983: 229) yang mengatakan bahwa dalam keluarga otoriter yang menerapkan disiplin terlampau ketat pada anak usia 3 tahun, mereka biasanya menjadi penurut, tergantung, mempunyai sifat bermusuhan, tetapi sifat itu cenderung dihambat. Sebaliknya apabila penanaman disiplin tersebut dilakukan pada umur lebih tua (remaja) maka biasanya mereka tidak akan menghambat dorongan bermusuhan dan akan mengekspresikannya dalam bentuk perilaku agresif.
Tentang adanya perbedaan hubungan PAO dengan agresifitas pada anak laki-laki dan perempuan, Jerome (Tilker, 1975: 435) mengatakan bahwa tingkah laku agresif pada anak laki-laki tetap stabil pada setiap masa perkembangannya, tetapi untuk anak perempuan tingkah laku agresif ini akan semakin berkurang. Berkurangnya perilaku agresif pada anak perempuan ini barangkali karena norma yang ada dalam masyarakat mencela perbuatan agresif bagi anak perempuan. Di samping norma seperti diutarakan di atas, dapat juga karena faktor budaya. Perempuan lebih sering menampilkan perilaku yang lembut, sehingga perilaku agresif nampaknya bukan milik perempuan. Laki-laki dianggap biasa untuk bertindak agresif dibandingkan anak perempuan. Anak perempuan secara psikologis lebih dapat menahan emosi; artinya semakin ditekan orang tua akan semakin menurut atau hanya menangis dan mengurung diri dalam kamar. Oleh sebab itu, dalam uji statistik pada gender perempuan diperoleh hubungan yang lebih kecil (yaitu 0,21169), jika dibandingkan dengan laki-laki (0,34521).
Pola asuh permisif (PAP) dengan keagresifitas menunjukkan hubungan. Pada anak laki-laki dan perempuan, disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara pola asuh permisif dengan agresifitas.
Secara teroritik hubungan pola asuh permisif dengan agresifitas mestinya lebih rendah dibandingkan dengan hubungan pola asuh otoriter dengan agresifitas. Namun, kenyataan di lapangan mengatakan lain, yakni pola permisif justru mempunyai hubungan yang lebih besar bagi munculnya agresifitas. Mengapa demikian? Beberapa kemungkinan dapat kita tampilkan; salah satu di antaranya adalah bahwa manusia semakin direndahkan martabatnya dengan tidak menggubris seluruh perbuatannya maka ia akan mencari perhatian dengan cara menampilkan perbuatan yang negatif yang langsung dapat mencemarkan nama baik keluarganya. Jika cara yang ditempuh individu itu mendapat reinforcement maka ia akan lebih sering melakukan tindakan yang negatif, dalam konteks ini adalah perilaku agresif.
Berkaitan dengan PAP ini, Barnadib (1986: 47) menyatakan bahwa tindakan negatif ini berupa anak tidak mengenal tata tertib, sulit dipimpin, tidak taat pada peraturan, dll. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Robinson (1958: 170) yang mengatakan bahwa PAP dapat menyebabkan perilaku agresif bagi anak asuhnya. Kelonggaran dan kurang pedulinya orang tua terhadap anaknya (PAP, rho = 0,44443) rupanya lebih mempunyai hubungan dengan keagresifan jika dibandingkan dengan PAO (rho = 0,29150).
Temuan penelitian ini, khususnya pada PAP korelasinya dengan agresifitas sungguh menarik. Sebab kondisi dalam PAO dapat memberi nuansa psikologis; artinya ke-otoritasan orang tua diberi muatan psikologis terhadap kekawatiran-kekawatiran yang akan terjadi pada anak remajanya, sehingga anak pada fase tertentu mampu dan mau menyadari perilaku otoriter orang tua terhadap jiwanya.
5. Simpulan dan saran
Berdasarkan analisis data dengan metode korelasi seperti disebutkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa setiap pola asuh memberi kontribusi terhadap perilaku agresif. Kontribusi yang diberikan dapat negatif maupun positif. Oleh karena itu, pada masing-masing tipe pola asuh terdapat sisi kelemahan dan sisi kekuatannya. Berkaitan dengan temuan ini maka orang tua harus semakin menyadari posisinya dan menerapkan pola asuh yang paling sedikit atau bahkan tidak merangsang potensi agresif pada anak-anak asuhannya.
Disadari bahwa hampir tidak ada orang tua yang mempraktikkan pola asuh secara murni pada salah satu tipe. Kecenderungan-kecenderungan pada tipe pola asuh tertentu nampaknya lebih banyak digunakan oleh orang tua. Atau bahkan orang tua mempraktikkan pola asuh secara eklektik, artinya melakukan pengasuhan kepada anaknya secara situasional. Namun, berdasarkan temuan penelitian ini penulis sarankan agar orang tua lebih dominan menggunakan pola asuh demokratis (PAD). PAD terbukti memberi kontribusi negatif bagi munculnya agresifitas. Di samping itu, penulis sarankan agar pada penelitian lain, responden dirubah ke pola asuh dari ibu kepada anak Dengan demikian, pola asuh orang tua yang menentukan anak, sehingga persepsi anak terhadap pola asuh orang tuanya lebih dominan.

Tidak ada komentar: